Endless Love (2014) bercerita tentang David Elliot (Alex Pettyfer), yang telah jatuh cinta dengan Jade Butterfield (Gabriella Wilde) sejak awal sekolah, tetapi tidak pernah berani berhubungan karena perbedaan sosial. David hanyalah anak seorang montir sedangkan Jade berasal dari keluarga kaya. Jade sendiri memiliki masalah, dia menjalani sekolah menengah sebagai penyendiri dan tidak akur karena dia berduka atas kematian kakak tertuanya Chris.
Ayahnya, Hugh Butterfield (Bruce Greenwood), dan ibunya, Anne (Joely Richardson), terlalu protektif dan sering menekan putra mereka yang lain, Keith (Rhys Wakefield). David menginspirasi keluarga Butterfield, tetapi dia masih harus berjuang keras untuk Jade. Pemeran Alex Pettyfer membuktikan bahwa ia bukan sekadar aktor berpenampilan karena setidaknya di film ini ia berperan sebagai aktor dengan aksi.
Chemistry yang ia bangun bersama Gabriella Wilde juga terlihat cukup baik. Di saat yang sama, Gabriella Wilde bisa menjadi sosok yang baik sebagai gadis pemalu yang tumbuh menjadi wanita mandiri. Aktor keluarga Butterfield lainnya juga bisa saling melengkapi, membuat mereka tampak seperti keluarga sungguhan. Rhys Wakefield juga menonjol dari aktor muda lainnya. Karakter Dayo Okeniyi sempat tampil dengan sesuatu yang baru dengan humornya. Secara keseluruhan tidak ada hal buruk tentang para pemain.
Setidaknya masalah film bukan karena aktornya, hanya plot yang lemah. Di 1/4 awal film ini, sutradara Shana Fest mampu membawakan sesuatu yang sangat bagus. Pesona para aktornya, setting film yang indah, penceritaan yang bagus, humor yang menghibur, romansa anak muda yang meluap, semuanya terasa begitu nikmat hingga membuat Anda melahapnya.
Namun setelah pertengahan hingga akhir, Shana Feste dan Joshua Safran sebagai penulis naskah seakan kehilangan ritme. Cerita menjadi monoton dan kehilangan landasan. Nyatanya, setiap adegan terasa tidak berbobot, hanya sebuah cerita yang terbaca dengan suara datar.
Meskipun para aktor melakukan yang terbaik, adegan demi adegan tidak saling mendukung, seperti potongan-potongan film yang disatukan, sehingga sulit bagi penonton untuk berempati dengan konflik keluarga yang seharusnya menyedihkan. Bahkan untuk soundtracknya sendiri terasa ngawur, tidak mampu meningkatkan dampak setiap adegan. Gairah cinta yang seharusnya terasa garang, tidak tersalurkan dengan baik.