Semesta (2020)
HD | 88 Min. | Indonesia | Documentary, DramaSemesta (2018) Perubahan di lingkungan kita sedang terjadi sekarang di depan mata kita. Film Semesta (Pulau Iman) menunjukkan perubahan itu dari sudut pandang agama dan kepercayaan yang berbeda. Film ini bercerita tentang tujuh komunitas yang mengambil sikap dan membuat perbedaan di tujuh provinsi di seluruh Indonesia.
Perjalanan alam semesta dimulai di Bali dan menampilkan keseharian tokoh utama Tjokorda, seorang tokoh budaya yang dihormati yang tinggal di Ubud. Umat Hindu Bali menjalani serangkaian ritual, dimulai dengan Melast dan kemudian Ogoh-ogoh, sebelum Nyepi, “hari istirahat” alam semesta tahun itu. Semua kegiatan harus dihentikan selama Nyep, termasuk penggunaan listrik.
Film tersebut menjelaskan bagaimana istirahat satu hari ini tidak hanya menghubungkan kembali manusia dengan alam, tetapi juga mengurangi emisi harian di pulau wisata yang populer itu.
Pulau Bali juga harus berkontribusi sepertiga untuk meredam perubahan iklim. Perjalanan dilanjutkan ke Sungai Utik di Kalimantan Barat, sebuah desa yang dihuni oleh masyarakat Dayak Iban. Kawasan ini memiliki lebih dari 9.000 hektar hutan yang terbagi dalam zona pemanfaatan dan perlindungan. Hutan lindung bertindak sebagai “supermarket” bagi masyarakat suku, menyediakan semua yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.
Tokoh utama Inam, kepala desa, menggambarkan sistem kawasan hutan dan bagaimana agama leluhur mereka mengajarkan untuk menjaga dan melestarikan hutan. Cara pengelolaan hutan dan pengelolaan penduduk asli setempat terbukti paling baik dalam pengelolaan hutan. Kemudian kami pergi ke Manggaraih di Nusa Tenggara Timur, di mana enam tahun lalu seorang pendeta Katolik membawa perubahan dramatis di sebuah desa yang belum pernah memiliki listrik sebelumnya.
Pendeta Marsel dan penduduk desa secara mandiri membangun pembangkit listrik mikrohidro, menghasilkan sumber energi yang bersih dan berkelanjutan. Sayangnya, pada tahun 2018, desa tersebut dilanda banjir bandang yang merusak bendungan dan genset. Penduduk, dipimpin oleh Pastor Marcel, membangun kembali kompleks tersebut, percaya bahwa upaya mereka mewakili perubahan ekologis yang diminta Paus dalam karyanya yang terkenal Laudato Si.
Keberhasilan mereka menunjukkan bagaimana daerah mati di Indonesia dapat menggunakan energi hijau terbarukan untuk mengurangi emisi dan memitigasi perubahan iklim. Di Papua, masyarakat lokal membantu keseimbangan alam melalui tradisi sasi, tradisi timur Indonesia yang melarang memancing atau berburu untuk jangka waktu tertentu. Dalam hal ini, hanya hewan dan tumbuhan tertentu yang dapat dipanen pada waktu yang telah disepakati.
Almina, ketua kelompok perempuan gereja lokal di desa Kapatcol, Misool, menyelenggarakan pembukaan Sasi Laut tujuh hari dengan restu gereja. Para perempuan akan menggunakan penghasilan tambahan dalam waktu singkat itu untuk berbagai keperluan seperti pendidikan.
Sasi menunjukkan bagaimana tradisi memberikan kesempatan kepada biota laut untuk bereproduksi, mempertahankan jumlahnya, dan memastikan keberadaannya di masa depan. Praktik lain untuk hidup selaras dengan alam juga dapat dilihat di Aceh, di mana kami berkendara ke Pameu, sebuah desa yang dikelilingi oleh hutan. Setiap kali gajah liar menyerang kebun desa dan merusak tanaman, masyarakat setempat percaya bahwa cara terbaik dan satu-satunya untuk menghadapinya adalah dengan menyelaraskannya dengan alam.
Ini dilakukan melalui kenduri (doa dan festival), refleksi ajaran Islam tentang bagaimana hidup dengan alam dan dipimpin oleh pemimpin agamanya, Imam Yusuf. Imam Yusuf menekankan praktik damai ini dalam khotbahnya untuk memastikan bahwa desa-desa mempercayainya, daripada mencelakakan hewan liar dengan racun atau jebakan jika terjadi konflik.
Sub judul film menceritakan bagaimana konservasi gajah berarti konservasi hutan dan peran ekosistem dalam mengatasi perubahan iklim. Perjalanan dilanjutkan di Pulau Jawa, pulau terpadat di Indonesia. Film ini berfokus pada Yogyakarta, di mana keluarga telah mengabdikan diri pada praktik thayyib, di mana segala sesuatu yang dikonsumsi harus berasal dari kebajikan dan nilai-nilai kebaikan.